JAKARTA – Warga Lampung digegerkan dengan seorang oknum Guru Honorer mencabuli anak didiknya. Menanggapi kabar tersebut, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyayangkan kasus kekerasan seksual yang terjadi pada siswi Sekolah Menengah Pertama (SMP) berumur 15 tahun yang dilakukan oleh oknum Guru berinsial HP (28) di ruang kelas sekolah di Bandar Lampung.
“KemenPPPA menyayangkan terjadinya kasus kekerasan seksual di lingkungan sekolah yang merupakan lembaga pendidikan tempat belajar-mengajar. Sekolah yang seharusnya merupakan tempat aman bagi anak ternyata justru menjadi tempat terjadinya kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh oknum guru sekolah kepada muridnya. Oknum guru tersebut meminta korban AM datang ke sekolah dengan alasan ada tugas mata pelajaran yang belum dituntaskan oleh korban.” ujar Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar di Jakarta, Senin (14/3)
Nahar menuturkan terungkapnya kasus kekerasan seksual yang terjadi pada murid oleh guru sekolah dapat menimbulkan kepanikan di masyarakat. Tetapi, di sisi lainnya juga dapat memberikan dorongan kepada masyarakat untuk melaporkan kasus kekerasan yang ditemui atau terjadi pada diri sendiri.
Berdasarkan hasil koordinasi yang dihimpun oleh Tim SAPA 129 KemenPPPA dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Bandar Lampung, kronologis kekerasan seksual yang terjadi berawal dari pelaku meminta korban datang ke sekolah untuk menyelesaikan tugas mata pelajaran pada tanggal 10 Maret 2022. Aksi pelaku dilakukan di ruang kelas dan korban tidak berdaya akibat ancaman pelaku.
Kasus kekerasan seksual tersebut segera terungkap karena adanya laporan orang tua korban ke Kepolisian Sektor (Polsek) Kedaton. Respon cepat, Polsek Kedaton mengamankan pelaku HP beserta barang bukti pada tanggal 11 Maret 2022. Pelaku sudah ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Bandar Lampung yang juga tengah memproses penyidikan upaya melengkapi berkas perkara untuk diserahkan ke Kejaksaan.
“KemenPPPA melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bandar Lampung sudah melakukan penjangkauan dan pendampingan kepada korban untuk visum di rumah sakit, memberikan layanan psikologis, serta menfasilitasi rumah aman bagi korban selama proses pendampingan agar terhindar dari desakan pemberitaan media dan rongrongan keluarga pelaku.” tutur Nahar.
KemenPPPA memastikan kebijakan pemerintah dan peraturannya dapat berjalan dalam proses hukum, dengan mengutamakan kepentingan terbaik anak dan berperspektif korban serta pelaku diberikan ganjaran hukum yang setimpal, agar memberikan efek jera.
Tersangka diduga dapat dijerat dengan pasal berlapis, yaitu Primer Pasal 76 D UU 35/2014 jo Pasal 81 ayat 1, 2, 3, 6 UU 17/2016 tentang Penetapan PERPU 1/2016 tentang Perubahan ke-2 UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang Undang; Subsidair Pasal 76 E UU 35/2014 jo Pasal 82 ayat 1, 2, 3, 5 UU 17/2016 tentang Penetapan PERPU 1/2016 tentang Perubahan ke-2 UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak menjadi UU, dengan ancaman hukuman penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak 5 (lima) miliar rupiah.
“Berdasarkan Pasal 81 ayat (6) pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa Pengumuman Identitas Pelaku, setelah Terpidana selesai menjalani pidana pokoknya. Lalu, berdasarkan Pasal 1 ayat 11 Undang Undang Nomor 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, maka Restitusi ganti kerugian diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku, berdasarkan surat permohonan perhitungan restitusi kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), sebagaimana ketentuan.” jelas Nahar.